Selasa, 06 Desember 2011

kisah 2 bersaudara

Nama                : Chintia Haryadi
Kelas                : Retansa
Alamat              : Jln. Rancah Rt/Rw 02/06 dusun cipurut cisaga
Te.Ta.La           : Ciamis, 01 maret 1994
Hobi                 : Olahraga,nyanyi
Cita*                : Guru
           
            Tuhan maha adil hingga ia ciptakan makhluk nya secara berpasang-pasangan. Tuhan mempertemukan 2 insan dibawah naungan langit biru dengan janji suci sehidup semati. Antara Dadi Haryadi dan Een Sunarsih, tak terasa waktu pun bergulir dengan lincah hingga mereka diberikan berkah seorang anak laki-laki bernama Agus Fajar yang lahir pada tanggal 11 Agustus 1982. tak lama setelah itu mereka kembali dianugerahi seorang puteri bernama Chintia Haryadi yang lahir pada tanggal 01 maret 1994. hingga sekarang mereka masih berkumpul dibawah naungan sang imam dan hidup bahagia.

Rumahku terletak di Jln. Rancah rt/rw 02/06 dusun CIPURUT desa CISAGA kecamatan CISAGA kabupaten CIAMIS provinsi JAWA BARAT negara INDONESIA.







LOKASI SEKITAR RUMAHKU :

      Karang Kamulyan adalah salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Ciamis. Cagar budaya yang luasnya hamper 25 Ha ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis.Berbicara mengenai Karang Kamulyan, fikiran kita akan langsung tertuju pada sebuah situs peninggalan sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jilid III, situs adalah daerah temuan benda-benda purbakala.Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur. Memang sampai sekarang belum ada bukti otentik mengenai apakah di situs ini dulunya merupakan pusat kerajaan Galuh atau bukan, tapi kalau kita kaitkan dengan kepercayaan atau agama yang berkembang saat itu yaitu agama Hindu, daerah ini memang cocok dijadikan pusat kerajaan Galuh karena berada dekat pertemuan dua sungai tersebut.Kosoh S, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Daerah Jawa Barat mengemukakan:
“… apabila ditinjau dari sudut pandang keagamaan dalam hal ini agama Hindu, Karang Kamulyan adalah sebuah tempat yang letaknya sangat baik, yaitu pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy”.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa penduduk setempat dan juga Babad Galuh menganggap bahwa Karang Kamulyan itu juga merupakan pusat Kerajaan Galuh karena dilihat dari arti katanya sendiri, Karang Kamulyan artinya tempat yang mulia atau tempat yang dimuliakan.
Para sejarawan dapat menyimpulkan bahwa agama yang dianut pada masa Kerajaan Galuh adalah agama Hindu karena berdasarkan Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh Raja Galuh adalah sewabakti ring batara upati. Upati berasal dari bahasa Sansekerta utpati atau utpata, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa agama Hindu dari mazhab Siwa. (Nugroho Notosusanto ; 1993 : 358)
Berbicara mengenai Karang Kamulyan, kita tidak bisa terlepas dari cerita Ciung Wanara, menurut masyarakat setempat kisah ini memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Masa kecil Ciung Wanara dibesarkan oleh kakeknya Aki Balangantrang. Setelah dewasa, Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan bernama Dewi Kancana Wangi, dan dikaruniai puteri yang bernama Purbasari yang menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.
Dalam usahanya merebut kerajaan Galuh dari tangan Sang Tamperan, Ciung Wanara dibantu oleh kakeknya yaitu Aki Balangantrang yang mahir dalam urusan peperangan dan kenegaraan bersama pasukan Geger Sunten. Perebutan kerajaan ini konon tidak dilakukan dengan peperangan, tapi melalui permainan sabung ayam yang menjadi kegemaran raja dan masyarakat pada saat itu. Ciung Wanara memenangkan permainan ini dengan mudah.
Ciung Wanara memerintah selama 44 tahun (739-783 Masehi), dengan wilayah dari Banyumas sampai dengan Citarum, selanjutnya setalah Ciung Wanara melakukan manurajasuniya (mengakhiri hidup dengan bertapa), maka selanjutnya kerajaan Galuh dipimpin oleh Sang Manistri atau Lutung Kasarung, menantunya. Ciung Wanara disebut juga Sang Manarah, atau Prabu Suratama, atau Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana.